Buku "Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the
'Conservative Turn' yang diedit Martin van Bruinessen pada tahun 2013
ini sangat menarik. Tesis utama yang ingin ditunjukkan dalam buku ini
adalah bahwa paska kejatuhan Suharto, wacana keislaman di Indonesia
telah dikendalikan oleh kelompok konservatif Muslim. Jika sebelumnya,
wacana dan kajian Islam Indonesia lebih diwarnai oleh kajian Islam yang
progresif dan liberal, maka saat ini wacana kajian keislaman lebih
diwarnai oleh kajian Islam yang konservatif.
Untuk membuktikan
tesis tersebut, 4 kajian hasil penelitian dipaparkan. Pertama, kajian
Moch Nur Ichwan memaparkan bagaimana fatwa-fatwa MUI lebih condong untuk
mendukung kelompok konservatif dan menentang kelompok progresif dan
liberal, seperti fatwa MUI tentang haramnya sekularisme, pluralisme dan
liberalisme, fatwa haram nikah beda agama, serta fatwa sesatnya
Ahmadiyah. Kedua, kajian Ahmad Najib Burhani tentang perubahan wajah
Muhammadiyah dari wajah yang mendukung pemikiran kritis dan terbuka pada
masa Amin Rais dan A. Syafii Maarif, hingga wajah yang konservatif pada
masa M. Din Syamsuddin. Ketiga adalah kajian Mujiburrahman tentang
upaya KPPSI di Sulawesi Selatan untuk menerapkan syariah Islam, serta
keempat kajian Muhammad Wildan tentang perkembangan Islam konservatif
dan radikal di Solo, dengan jaringan pesantren Ngruki.
Walaupun
wacana kajian keislaman di Indonesia saat ini lebih banyak didominasi
kelompok konservatif, van Bruinessen masih melihat bahwa kajian Islam
yang lebih progresif masih ada di beberapa titik, pusat kajian dan NGO,
seperti di UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta, Paramadina, Rahima, JIL,
Maarif Institute dan Wahid Institute. Pertanyaannya kemudian, apakah
kelompok ini akan bisa bertahan dan mewarnai kembali wacana keislaman di
Indonesia. Wait and see.
Senin, 18 November 2013
Rabu, 24 November 2010
Akhirnya ....
Akhirnya, saya bisa masuk lagi ke blog saya, setelah lama terbengkalai. Masalahnya saya lupa login dan passwordnya. Ternyata mudah sekali untuk mendapatkan kembali data-data tersebut, tentunya dengan bantuan google dan Blogger.
Setelah bisa masuk lagi ke blog ini, what is next?
Ada cerita menarik (untuk saya tentunya), waktu saya mengajar ke suatu perguruan tinggi di Medan. Di sela-sela mengajar, ada yang bertanya kepada saya: "Bagaimana kabar Nayura? Saya tahu nama anak bapak dari blog bapak. Kok tidak menulis lagi di blog? Waw, ternyata ada juga yang membaca.
Bahkan, yang membuat saya ge er, ada juga yang mengatakan kepada saya di kampus tempat saya mengajar "saya baru mengerti bagaimana seharusnya membuat proposal setelah membaca tulisan di blog bapak". Is that true?
Well, mungkin memang ada manfaatnya menulis di blog ini: kalau tidak untuk orang lain, paling tidak dan yang pasti bermanfaat untuk saya sendiri.
So, let's start again ...
Setelah bisa masuk lagi ke blog ini, what is next?
Ada cerita menarik (untuk saya tentunya), waktu saya mengajar ke suatu perguruan tinggi di Medan. Di sela-sela mengajar, ada yang bertanya kepada saya: "Bagaimana kabar Nayura? Saya tahu nama anak bapak dari blog bapak. Kok tidak menulis lagi di blog? Waw, ternyata ada juga yang membaca.
Bahkan, yang membuat saya ge er, ada juga yang mengatakan kepada saya di kampus tempat saya mengajar "saya baru mengerti bagaimana seharusnya membuat proposal setelah membaca tulisan di blog bapak". Is that true?
Well, mungkin memang ada manfaatnya menulis di blog ini: kalau tidak untuk orang lain, paling tidak dan yang pasti bermanfaat untuk saya sendiri.
So, let's start again ...
Sabtu, 17 Januari 2009
The "Sacred" Qur'an
These days I read e-mails in AAR litserv on the Legal Issue of Non-Muslim touching the Qur'an; whether non Muslim can touch the Qur'an. This issue is actually based on the verse of the Qur'an which states "La yamassuhu illa al-Mutahharun" (None is allowed to touch it [the Qur'an] except the purified ones). This verse is generally understood that only the pure people can touch the Qur'an. That is why they say that the women in menstruation cannot touch the Qur'an because thay are in the state of impurity. This state includes also the one (male or female) who has not taken ablution. That is why we often see/find in the cover of the Qur'an this portion of the verse, which means that before ablution we cannot touch the Qur'an.
But, there are other interpretations of this verse. "The purified ones" is interpreted as those who have purifying hearts. Without this, none, even the Muslim, can touch the Qur'an. If we refer to the Qur'an itself, the verse is actually related to the Qur'an which is in the Preserved Tablet, and the purified ones in this case are understood as angels.
So, does it relate to the Qur'an in this world? are the Muslims the only one who can touch the Qur'an? or, is it because the Qur'an is considered sacred? so they cannot touch it. But, why is it sacred? Where is the sacredness of the Qur'an?
Some scholars say that the sacredness does not lie in the text itself, but in the relation between the text with those who believe in it. The non Muslims do not believe in the sacredness of the Qur'an; it is the Muslims who believe in it.
Then, non Muslim can touch the Qur'an because they do not believe in the sacredness of the Qur'an.
Finally, how can the non Muslims learn, study and understand the content of the Qur'an, if, from the very beginning, they are not allowed/prohibited from touching the Qur'an.
But, there are other interpretations of this verse. "The purified ones" is interpreted as those who have purifying hearts. Without this, none, even the Muslim, can touch the Qur'an. If we refer to the Qur'an itself, the verse is actually related to the Qur'an which is in the Preserved Tablet, and the purified ones in this case are understood as angels.
So, does it relate to the Qur'an in this world? are the Muslims the only one who can touch the Qur'an? or, is it because the Qur'an is considered sacred? so they cannot touch it. But, why is it sacred? Where is the sacredness of the Qur'an?
Some scholars say that the sacredness does not lie in the text itself, but in the relation between the text with those who believe in it. The non Muslims do not believe in the sacredness of the Qur'an; it is the Muslims who believe in it.
Then, non Muslim can touch the Qur'an because they do not believe in the sacredness of the Qur'an.
Finally, how can the non Muslims learn, study and understand the content of the Qur'an, if, from the very beginning, they are not allowed/prohibited from touching the Qur'an.
UIN for World Class University
Today and yesterday we had "Rapat Kerja" Annual Bussiness Meeting of UIN to evaluate our 2008 program and plan 2009 programs. Many things were discussed during the meeting, but the most important goal that we pursue for the future is to make UIN in the top 500 list of World Class University. Why 500? Why not 100 or 1, competing Harvard University, McGill, ANU or other wellknown universities.
500 is the most reasonable list considering the present state of UIN. There are many indicators and criteria that have to be met for the top list. The number of the professors, the quality of researches, the number of international professors and students, the number of literatures that can support the research, etc. And for these, we are still far far behind.
One of the criteria is to have more articles published in international academic journals, and to have these articles quoted and referred internationally. How can we have this if our library cannot support us to read studies and researches on the same subject? How can we publish our articles in international journals if they are written in Bahasa Indonesia? How can they be published if they do not relate with the global and international discourse.
That is why we need to write on the subject or theme discussed and studied by the Academic Community. We can contribute on this discussion by offering new thesis based on our case study. We need to write it in English, so we can send it to academic international journals. This for sure is very difficult and needs funding, for research, writing and maybe publication. But it is very important start to become World Class University.
500 is the most reasonable list considering the present state of UIN. There are many indicators and criteria that have to be met for the top list. The number of the professors, the quality of researches, the number of international professors and students, the number of literatures that can support the research, etc. And for these, we are still far far behind.
One of the criteria is to have more articles published in international academic journals, and to have these articles quoted and referred internationally. How can we have this if our library cannot support us to read studies and researches on the same subject? How can we publish our articles in international journals if they are written in Bahasa Indonesia? How can they be published if they do not relate with the global and international discourse.
That is why we need to write on the subject or theme discussed and studied by the Academic Community. We can contribute on this discussion by offering new thesis based on our case study. We need to write it in English, so we can send it to academic international journals. This for sure is very difficult and needs funding, for research, writing and maybe publication. But it is very important start to become World Class University.
Jumat, 09 Januari 2009
Pelepasan Wisudawan SPs
Malam ini diadakan acara pelepasan wisudawan program MA dan Doktor di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Acara ini sudah mulai ditradisikan sejak Oktober 2008 silam, ketika melepas sekitar 150 wisudawan. Januari 2009 ini tidak terlalu banyak yang diwisuda dari SPs, hanya 50 orang, yang terdiri dari 21 MA dan 29 Doktor. Wisuda sebelumnya memang banyak karena melepas 60 mahasiswa program beasiswa Depag konsentrasi PAI dan PBA.
Yang menarik dari para wisudawan bulan ini, sebagaimana pada wisuda Oktober yang lalu, adalah banyaknya para wisudawan dari angkatan lama, bahkan ada yang angkatan 1997, walaupun ada juga yang angkatan 2005. Memang, sejak awal kepemimpinan Prof. Dr. Azyumardi Azra, telah dilakukan berbagai langkah dan kebijakan agar mahasiswa yang telah lama studi di SPs dapat menyelesaikan studinya. Maka diperkenalkan gelar Master non tesis, gelar MPhil, SK Kadaluarsa dan sebagainya, sehingga mereka yang sudah lama terlena dengan berbagai kesibukan, terpacu untuk menyelesaikan tesis dan disertasinya. Dengan adanya Surat Peringatan, Surat Ancaman DO, pemaksaan untuk melapor progress penulisan tesis dan disertasi, akhirnya banyak juga yang berterima kasih kepada SPs karena dapat menyelesaikan studinya. Walaupun banyak juga yang terkena SK Kadaluarsa, sehingga tidak bisa menyelesaikan studinya.
Dengan acara pelepasan ini, berarti jumlah alumni SPs semakin banyak. Itu berarti jaringan SPs semakin meluas, karena para alumni ini tersebar di seluruh Indonesia, yang kini ada yang sedang menjabat rektor IAIN/UIN/STAIN, direktur pasca, aktif di LSM atau Partai Politik. Alumni-alumni ini akan lebih mengharumkan nama SPs, karena mereka akan menjadi jubir dan iklan SPs di luar. Oleh karena itu, di kemudian hari perlu dilakukan pendataan alumni dan mungkin juga pendirian ikatan alumni SPs sehingga ikatan batin antara sesama alumni dapat terus dijalin.
Selain acara pelepasan, malam ini juga merupakan tasyakuran atas keluarnya SK dari BAN PT Diknas yang memberikan akreditasi A (Sangat Baik) bagi program Magister. Nilai ini merupakan nilai yang paling tinggi, sementara program Magister yang lain hanya mendapat nilai B, bahkan C. Dalam SK tersebut tercantum dua Program Pascasarjana, yaitu SPs UIN Jakarta dengan nilai A, dan Universitas Islam Jakarta dengan nilai C. Ini membuktikan bahwa administrasi, sistem dan kualitas Sekolah Pascasarjana diakui dan diapresiasi. Sementara itu, akreditasi untuk program Doktor masih dalam proses, mudah-mudahan mendapat nilai yang sama.
Yang menarik dari para wisudawan bulan ini, sebagaimana pada wisuda Oktober yang lalu, adalah banyaknya para wisudawan dari angkatan lama, bahkan ada yang angkatan 1997, walaupun ada juga yang angkatan 2005. Memang, sejak awal kepemimpinan Prof. Dr. Azyumardi Azra, telah dilakukan berbagai langkah dan kebijakan agar mahasiswa yang telah lama studi di SPs dapat menyelesaikan studinya. Maka diperkenalkan gelar Master non tesis, gelar MPhil, SK Kadaluarsa dan sebagainya, sehingga mereka yang sudah lama terlena dengan berbagai kesibukan, terpacu untuk menyelesaikan tesis dan disertasinya. Dengan adanya Surat Peringatan, Surat Ancaman DO, pemaksaan untuk melapor progress penulisan tesis dan disertasi, akhirnya banyak juga yang berterima kasih kepada SPs karena dapat menyelesaikan studinya. Walaupun banyak juga yang terkena SK Kadaluarsa, sehingga tidak bisa menyelesaikan studinya.
Dengan acara pelepasan ini, berarti jumlah alumni SPs semakin banyak. Itu berarti jaringan SPs semakin meluas, karena para alumni ini tersebar di seluruh Indonesia, yang kini ada yang sedang menjabat rektor IAIN/UIN/STAIN, direktur pasca, aktif di LSM atau Partai Politik. Alumni-alumni ini akan lebih mengharumkan nama SPs, karena mereka akan menjadi jubir dan iklan SPs di luar. Oleh karena itu, di kemudian hari perlu dilakukan pendataan alumni dan mungkin juga pendirian ikatan alumni SPs sehingga ikatan batin antara sesama alumni dapat terus dijalin.
Selain acara pelepasan, malam ini juga merupakan tasyakuran atas keluarnya SK dari BAN PT Diknas yang memberikan akreditasi A (Sangat Baik) bagi program Magister. Nilai ini merupakan nilai yang paling tinggi, sementara program Magister yang lain hanya mendapat nilai B, bahkan C. Dalam SK tersebut tercantum dua Program Pascasarjana, yaitu SPs UIN Jakarta dengan nilai A, dan Universitas Islam Jakarta dengan nilai C. Ini membuktikan bahwa administrasi, sistem dan kualitas Sekolah Pascasarjana diakui dan diapresiasi. Sementara itu, akreditasi untuk program Doktor masih dalam proses, mudah-mudahan mendapat nilai yang sama.
Kamis, 08 Januari 2009
Work-in-Progress
Work-in-Progress diberlakukan Sekolah Pascasarjana untuk membantu memonitor penulisan tesis dan disertasi mahasiswa agar mengikuti rambu-rambu dan ekspektasi yang ditetapkan SPs. Namun ada yang salah mempersepsikan bahwa work-in-progress mengganti peran pembimbing, atau malah pembimbing menyerahkan proses bimbingan melalui work-in-progress. Belum lagi mahasiswa yang merasa bahwa work-in-progress mempersulit penyelesaian tesis/disertasi.
Tapi sebenarnya yang berjalan selama ini adalah bahwa work- in-progress banyak membantu penulisan tesis/disertasi dari beberapa segi. Pertama, tentu saja dari segi teknis penulisan. Masih banyak mahasiswa yang tidak mengikuti pedoman penulisan karya ilmiah dalam hal penulisan foot note, pengutipan, penulisan transliterasi, penulisan daftar pustaka, gelar akademik, penulisan bab, paragraf, bahkan kalimat. Seharusnya memang tesis dan disertasi yang ditulis sudah harus bersih dari kesalahan-kesalahan tersebut, atau dari stupid mistakes dalam istilah pak Azyumardi Azra. Pembimbing atau penguji tidak perlu direpotkan dengan persoalan-persoalan yang teknis ini.
Yang kedua yang diperhatikan dalam work-in-progress adalah struktur tesis/disertasi. Pembahasan utama atau inti dalam suatu tesis/disertasi terwakili dalam 70% dari keseluruhan pembahasan. Yang banyak terjadi, tesis dan disertasi dipenuhi dengan bab-bab pengantar yang mencapai hingga dua atau tiga bab, sementara bab inti hanya satu bab, atau malah satu subbab. Dalam tesis dan disertasi yang diharapkan adalah analisis dan interpretasi, dan itu tidak cukup hanya dipaparkan di akhir bab atau subbab. Dengan porsi 70% bab inti, mahasiswa diharapkan bisa mengeksplor dan menganalisis pembahasan dari berbagai segi/indikator/aspek. Dan untuk memaparkan hasil pembahasan dapat ditulis ke dalam dua, tiga bahkan empat bab.
Dan yang paling utama yang diperhatikan dalam work-in-progress adalah argumentasi dan pembuktian bab-bab terhadap kesimpulan besar yang sedang dibangun. Oleh karena itu, kerangka teori, peta perdebatan tema dan keilmuan, serta pembagian bab-bab dan pembahasan yang ada di dalamnya seluruhnya dalam rangka mendukung kesimpulan besar si penulis tesis dan disertasi.
Memang kegiatan work-in-progress sangat melelahkan dan kadang membosankan, tapi karena ini untuk meningkatkan kualitas tesis dan disertasi maka ia perlu dilanjutkan hingga mahasiswa sadar akan pentingnya penulisan tesis dan disertasi yang berkualitas; advanced research for academic excellence.
Tapi sebenarnya yang berjalan selama ini adalah bahwa work- in-progress banyak membantu penulisan tesis/disertasi dari beberapa segi. Pertama, tentu saja dari segi teknis penulisan. Masih banyak mahasiswa yang tidak mengikuti pedoman penulisan karya ilmiah dalam hal penulisan foot note, pengutipan, penulisan transliterasi, penulisan daftar pustaka, gelar akademik, penulisan bab, paragraf, bahkan kalimat. Seharusnya memang tesis dan disertasi yang ditulis sudah harus bersih dari kesalahan-kesalahan tersebut, atau dari stupid mistakes dalam istilah pak Azyumardi Azra. Pembimbing atau penguji tidak perlu direpotkan dengan persoalan-persoalan yang teknis ini.
Yang kedua yang diperhatikan dalam work-in-progress adalah struktur tesis/disertasi. Pembahasan utama atau inti dalam suatu tesis/disertasi terwakili dalam 70% dari keseluruhan pembahasan. Yang banyak terjadi, tesis dan disertasi dipenuhi dengan bab-bab pengantar yang mencapai hingga dua atau tiga bab, sementara bab inti hanya satu bab, atau malah satu subbab. Dalam tesis dan disertasi yang diharapkan adalah analisis dan interpretasi, dan itu tidak cukup hanya dipaparkan di akhir bab atau subbab. Dengan porsi 70% bab inti, mahasiswa diharapkan bisa mengeksplor dan menganalisis pembahasan dari berbagai segi/indikator/aspek. Dan untuk memaparkan hasil pembahasan dapat ditulis ke dalam dua, tiga bahkan empat bab.
Dan yang paling utama yang diperhatikan dalam work-in-progress adalah argumentasi dan pembuktian bab-bab terhadap kesimpulan besar yang sedang dibangun. Oleh karena itu, kerangka teori, peta perdebatan tema dan keilmuan, serta pembagian bab-bab dan pembahasan yang ada di dalamnya seluruhnya dalam rangka mendukung kesimpulan besar si penulis tesis dan disertasi.
Memang kegiatan work-in-progress sangat melelahkan dan kadang membosankan, tapi karena ini untuk meningkatkan kualitas tesis dan disertasi maka ia perlu dilanjutkan hingga mahasiswa sadar akan pentingnya penulisan tesis dan disertasi yang berkualitas; advanced research for academic excellence.
Proposal Disertasi 2
Ketika kita menulis proposal disertasi atau tesis, kita dituntut untuk menjadi orang besar karena kita berdebat dengan orang besar. Kita berbicara tentang sesuatu yang besar yang menjadi perdebatan orang-orang besar. Itulah yang dimaksud dengan kesimpulan besar dan kesimpulan masyarakat akademik. Oleh karena itu, kita berbicara di level tema bukan di level kasus.
Dalam level tema, lawan berdebat atau teman berdebat kita adalah orang-orang besar, yang selalu dirujuk pernyataannya dan kesimpulannya. Kita tidak berada di bawah atau hanya mengekor mereka. Dengan penelitian yang kita lakukan, kita membantah, merevisi atau memperkuat kesimpulan mereka.
Salah satu contoh, ada mahasiswa ekonomi Islam yang mengajukan rencana penelitan tentang Kewirausahaan Muslim Tradisionalis di Indramayu. Penelitian ini untuk membuktikan bahwa pemahaman keagamaan bukanlah merupakan variabel utama dalam kewirausahaan, tapi variabel rasionalitas. Ini membantah kesimpulan Max Weber, Clifford Geertz, dll yang menyatakan bahwa pemahaman keagamaan modern yang lebih berperan terhadap keberhasilan suatu wirausaha.
Dengan mengambil kasus Muslim tradisionalis di Indramayu, dia ingin membuktikan bahwa ternyata pemahaman tradisional juga mempengaruhi keberhasilan kewirausahaan. Walaupun mereka tradisionalis dan melakukan ritual-ritual tradisional (irrasional), tapi dalam konteks kewirausahaan mereka rasional.
Memang kemudian yang harus dijelaskan oleh mahasiswa tersebut, apa yang dimaksud tradisional, modern dan rasional. Apakah modern berarti rasional, dan tradisional berarti irrasional; apakah pemahaman agama yang tradisional juga berarti memiliki sikap tradisional dalam berwirausaha? Kenapa Indramayu? dan lain-lain.
Walaupun begitu, dari masalah dan kesimpulan besar yang diangkat, rencana penelitian ini sudah jelas dan besar, dan berdebat dengan orang-orang besar.
Dalam level tema, lawan berdebat atau teman berdebat kita adalah orang-orang besar, yang selalu dirujuk pernyataannya dan kesimpulannya. Kita tidak berada di bawah atau hanya mengekor mereka. Dengan penelitian yang kita lakukan, kita membantah, merevisi atau memperkuat kesimpulan mereka.
Salah satu contoh, ada mahasiswa ekonomi Islam yang mengajukan rencana penelitan tentang Kewirausahaan Muslim Tradisionalis di Indramayu. Penelitian ini untuk membuktikan bahwa pemahaman keagamaan bukanlah merupakan variabel utama dalam kewirausahaan, tapi variabel rasionalitas. Ini membantah kesimpulan Max Weber, Clifford Geertz, dll yang menyatakan bahwa pemahaman keagamaan modern yang lebih berperan terhadap keberhasilan suatu wirausaha.
Dengan mengambil kasus Muslim tradisionalis di Indramayu, dia ingin membuktikan bahwa ternyata pemahaman tradisional juga mempengaruhi keberhasilan kewirausahaan. Walaupun mereka tradisionalis dan melakukan ritual-ritual tradisional (irrasional), tapi dalam konteks kewirausahaan mereka rasional.
Memang kemudian yang harus dijelaskan oleh mahasiswa tersebut, apa yang dimaksud tradisional, modern dan rasional. Apakah modern berarti rasional, dan tradisional berarti irrasional; apakah pemahaman agama yang tradisional juga berarti memiliki sikap tradisional dalam berwirausaha? Kenapa Indramayu? dan lain-lain.
Walaupun begitu, dari masalah dan kesimpulan besar yang diangkat, rencana penelitian ini sudah jelas dan besar, dan berdebat dengan orang-orang besar.
Langganan:
Postingan (Atom)