Sabtu, 17 Januari 2009

The "Sacred" Qur'an

These days I read e-mails in AAR litserv on the Legal Issue of Non-Muslim touching the Qur'an; whether non Muslim can touch the Qur'an. This issue is actually based on the verse of the Qur'an which states "La yamassuhu illa al-Mutahharun" (None is allowed to touch it [the Qur'an] except the purified ones). This verse is generally understood that only the pure people can touch the Qur'an. That is why they say that the women in menstruation cannot touch the Qur'an because thay are in the state of impurity. This state includes also the one (male or female) who has not taken ablution. That is why we often see/find in the cover of the Qur'an this portion of the verse, which means that before ablution we cannot touch the Qur'an.
But, there are other interpretations of this verse. "The purified ones" is interpreted as those who have purifying hearts. Without this, none, even the Muslim, can touch the Qur'an. If we refer to the Qur'an itself, the verse is actually related to the Qur'an which is in the Preserved Tablet, and the purified ones in this case are understood as angels.
So, does it relate to the Qur'an in this world? are the Muslims the only one who can touch the Qur'an? or, is it because the Qur'an is considered sacred? so they cannot touch it. But, why is it sacred? Where is the sacredness of the Qur'an?
Some scholars say that the sacredness does not lie in the text itself, but in the relation between the text with those who believe in it. The non Muslims do not believe in the sacredness of the Qur'an; it is the Muslims who believe in it.
Then, non Muslim can touch the Qur'an because they do not believe in the sacredness of the Qur'an.
Finally, how can the non Muslims learn, study and understand the content of the Qur'an, if, from the very beginning, they are not allowed/prohibited from touching the Qur'an.

UIN for World Class University

Today and yesterday we had "Rapat Kerja" Annual Bussiness Meeting of UIN to evaluate our 2008 program and plan 2009 programs. Many things were discussed during the meeting, but the most important goal that we pursue for the future is to make UIN in the top 500 list of World Class University. Why 500? Why not 100 or 1, competing Harvard University, McGill, ANU or other wellknown universities.
500 is the most reasonable list considering the present state of UIN. There are many indicators and criteria that have to be met for the top list. The number of the professors, the quality of researches, the number of international professors and students, the number of literatures that can support the research, etc. And for these, we are still far far behind.
One of the criteria is to have more articles published in international academic journals, and to have these articles quoted and referred internationally. How can we have this if our library cannot support us to read studies and researches on the same subject? How can we publish our articles in international journals if they are written in Bahasa Indonesia? How can they be published if they do not relate with the global and international discourse.
That is why we need to write on the subject or theme discussed and studied by the Academic Community. We can contribute on this discussion by offering new thesis based on our case study. We need to write it in English, so we can send it to academic international journals. This for sure is very difficult and needs funding, for research, writing and maybe publication. But it is very important start to become World Class University.

Jumat, 09 Januari 2009

Pelepasan Wisudawan SPs

Malam ini diadakan acara pelepasan wisudawan program MA dan Doktor di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Acara ini sudah mulai ditradisikan sejak Oktober 2008 silam, ketika melepas sekitar 150 wisudawan. Januari 2009 ini tidak terlalu banyak yang diwisuda dari SPs, hanya 50 orang, yang terdiri dari 21 MA dan 29 Doktor. Wisuda sebelumnya memang banyak karena melepas 60 mahasiswa program beasiswa Depag konsentrasi PAI dan PBA.
Yang menarik dari para wisudawan bulan ini, sebagaimana pada wisuda Oktober yang lalu, adalah banyaknya para wisudawan dari angkatan lama, bahkan ada yang angkatan 1997, walaupun ada juga yang angkatan 2005. Memang, sejak awal kepemimpinan Prof. Dr. Azyumardi Azra, telah dilakukan berbagai langkah dan kebijakan agar mahasiswa yang telah lama studi di SPs dapat menyelesaikan studinya. Maka diperkenalkan gelar Master non tesis, gelar MPhil, SK Kadaluarsa dan sebagainya, sehingga mereka yang sudah lama terlena dengan berbagai kesibukan, terpacu untuk menyelesaikan tesis dan disertasinya. Dengan adanya Surat Peringatan, Surat Ancaman DO, pemaksaan untuk melapor progress penulisan tesis dan disertasi, akhirnya banyak juga yang berterima kasih kepada SPs karena dapat menyelesaikan studinya. Walaupun banyak juga yang terkena SK Kadaluarsa, sehingga tidak bisa menyelesaikan studinya.
Dengan acara pelepasan ini, berarti jumlah alumni SPs semakin banyak. Itu berarti jaringan SPs semakin meluas, karena para alumni ini tersebar di seluruh Indonesia, yang kini ada yang sedang menjabat rektor IAIN/UIN/STAIN, direktur pasca, aktif di LSM atau Partai Politik. Alumni-alumni ini akan lebih mengharumkan nama SPs, karena mereka akan menjadi jubir dan iklan SPs di luar. Oleh karena itu, di kemudian hari perlu dilakukan pendataan alumni dan mungkin juga pendirian ikatan alumni SPs sehingga ikatan batin antara sesama alumni dapat terus dijalin.
Selain acara pelepasan, malam ini juga merupakan tasyakuran atas keluarnya SK dari BAN PT Diknas yang memberikan akreditasi A (Sangat Baik) bagi program Magister. Nilai ini merupakan nilai yang paling tinggi, sementara program Magister yang lain hanya mendapat nilai B, bahkan C. Dalam SK tersebut tercantum dua Program Pascasarjana, yaitu SPs UIN Jakarta dengan nilai A, dan Universitas Islam Jakarta dengan nilai C. Ini membuktikan bahwa administrasi, sistem dan kualitas Sekolah Pascasarjana diakui dan diapresiasi. Sementara itu, akreditasi untuk program Doktor masih dalam proses, mudah-mudahan mendapat nilai yang sama.

Kamis, 08 Januari 2009

Work-in-Progress

Work-in-Progress diberlakukan Sekolah Pascasarjana untuk membantu memonitor penulisan tesis dan disertasi mahasiswa agar mengikuti rambu-rambu dan ekspektasi yang ditetapkan SPs. Namun ada yang salah mempersepsikan bahwa work-in-progress mengganti peran pembimbing, atau malah pembimbing menyerahkan proses bimbingan melalui work-in-progress. Belum lagi mahasiswa yang merasa bahwa work-in-progress mempersulit penyelesaian tesis/disertasi.
Tapi sebenarnya yang berjalan selama ini adalah bahwa work- in-progress banyak membantu penulisan tesis/disertasi dari beberapa segi. Pertama, tentu saja dari segi teknis penulisan. Masih banyak mahasiswa yang tidak mengikuti pedoman penulisan karya ilmiah dalam hal penulisan foot note, pengutipan, penulisan transliterasi, penulisan daftar pustaka, gelar akademik, penulisan bab, paragraf, bahkan kalimat. Seharusnya memang tesis dan disertasi yang ditulis sudah harus bersih dari kesalahan-kesalahan tersebut, atau dari stupid mistakes dalam istilah pak Azyumardi Azra. Pembimbing atau penguji tidak perlu direpotkan dengan persoalan-persoalan yang teknis ini.
Yang kedua yang diperhatikan dalam work-in-progress adalah struktur tesis/disertasi. Pembahasan utama atau inti dalam suatu tesis/disertasi terwakili dalam 70% dari keseluruhan pembahasan. Yang banyak terjadi, tesis dan disertasi dipenuhi dengan bab-bab pengantar yang mencapai hingga dua atau tiga bab, sementara bab inti hanya satu bab, atau malah satu subbab. Dalam tesis dan disertasi yang diharapkan adalah analisis dan interpretasi, dan itu tidak cukup hanya dipaparkan di akhir bab atau subbab. Dengan porsi 70% bab inti, mahasiswa diharapkan bisa mengeksplor dan menganalisis pembahasan dari berbagai segi/indikator/aspek. Dan untuk memaparkan hasil pembahasan dapat ditulis ke dalam dua, tiga bahkan empat bab.
Dan yang paling utama yang diperhatikan dalam work-in-progress adalah argumentasi dan pembuktian bab-bab terhadap kesimpulan besar yang sedang dibangun. Oleh karena itu, kerangka teori, peta perdebatan tema dan keilmuan, serta pembagian bab-bab dan pembahasan yang ada di dalamnya seluruhnya dalam rangka mendukung kesimpulan besar si penulis tesis dan disertasi.
Memang kegiatan work-in-progress sangat melelahkan dan kadang membosankan, tapi karena ini untuk meningkatkan kualitas tesis dan disertasi maka ia perlu dilanjutkan hingga mahasiswa sadar akan pentingnya penulisan tesis dan disertasi yang berkualitas; advanced research for academic excellence.

Proposal Disertasi 2

Ketika kita menulis proposal disertasi atau tesis, kita dituntut untuk menjadi orang besar karena kita berdebat dengan orang besar. Kita berbicara tentang sesuatu yang besar yang menjadi perdebatan orang-orang besar. Itulah yang dimaksud dengan kesimpulan besar dan kesimpulan masyarakat akademik. Oleh karena itu, kita berbicara di level tema bukan di level kasus.
Dalam level tema, lawan berdebat atau teman berdebat kita adalah orang-orang besar, yang selalu dirujuk pernyataannya dan kesimpulannya. Kita tidak berada di bawah atau hanya mengekor mereka. Dengan penelitian yang kita lakukan, kita membantah, merevisi atau memperkuat kesimpulan mereka.
Salah satu contoh, ada mahasiswa ekonomi Islam yang mengajukan rencana penelitan tentang Kewirausahaan Muslim Tradisionalis di Indramayu. Penelitian ini untuk membuktikan bahwa pemahaman keagamaan bukanlah merupakan variabel utama dalam kewirausahaan, tapi variabel rasionalitas. Ini membantah kesimpulan Max Weber, Clifford Geertz, dll yang menyatakan bahwa pemahaman keagamaan modern yang lebih berperan terhadap keberhasilan suatu wirausaha.
Dengan mengambil kasus Muslim tradisionalis di Indramayu, dia ingin membuktikan bahwa ternyata pemahaman tradisional juga mempengaruhi keberhasilan kewirausahaan. Walaupun mereka tradisionalis dan melakukan ritual-ritual tradisional (irrasional), tapi dalam konteks kewirausahaan mereka rasional.
Memang kemudian yang harus dijelaskan oleh mahasiswa tersebut, apa yang dimaksud tradisional, modern dan rasional. Apakah modern berarti rasional, dan tradisional berarti irrasional; apakah pemahaman agama yang tradisional juga berarti memiliki sikap tradisional dalam berwirausaha? Kenapa Indramayu? dan lain-lain.
Walaupun begitu, dari masalah dan kesimpulan besar yang diangkat, rencana penelitian ini sudah jelas dan besar, dan berdebat dengan orang-orang besar.

Rabu, 07 Januari 2009

Proposal Disertasi

Suatu disertasi atau tesis ditulis untuk menjawab suatu masalah; dan masalah bukanlah pertanyaan! Banyak tesis dan disertasi yang ditulis tapi tidak jelas apa masalahnya, sehingga ia hanya mendeskripsikan suatu topik/tema. Ini jelas berbeda dengan skripsi yang hanya men-de-skripsi-kan.
Misalnya beberapa hari yang lalu ada ujian proposal disertasi di mana si mahasiswa mengangkat judul "Pemikiran Tasawuf Muslih ibn Abd Rahman 1917-1981)". Yang belum nampak dari judul dan juga keseluruhan proposal adalah apa sebenarnya masalahnya, kenapa pemikiran ini harus dikaji, dan ini akan memberikan kontribusi apa terhadap bangunan keilmuan yang sudah ada.
Oleh karena itu, sebelum memulai penulisan proposal, harus terlebih dahulu mengetahui dan menentukan tema dan keilmuan yang akan digeluti, baru kemudian mengajukan kasus untuk memberikan kontribusi terhadap tema tersebut. Maka pemikiran Muslih dalam hal ini adalah kasus bukan tema; disertasi/tesis ini ditulis bukan untuk menjadi spesialis dan ahli dalam pemikiran Muslih tapi ahli dalam tema yang berada di atas pemikiran Muslih. Oleh karena itu pembahasan kasus harus diangkat ke level di atas pemikiran Muslih, yaitu tema. Pemikiran Muslih merupakan representasi dari apa? Apa yang sedang dikaji dan diskusikan oleh masyarakat akademik tentang tema tasawuf.
Setelah tema diketahui dan ditetapkan, maka langkah selanjutnya adalah menemukan literatur-literatur (literatur review) tentang tema tersebut. Kalau berbicara tentang tema, maka akan ditemukan banyak literatur yang sudah mengkaji tema tersebut, tapi kalau dimulai dari kasus, maka literatur yang akan ditemukan akan sedikit bahkan tidak ada sama sekali.
Dari literatur review tersebut, akan didapatkan peta perdebatan, dan diketahui siapa yang berbicara di sana, masalah apa yang mereka diskusikan, dan jawaban/kesimpulan yang mereka ajukan.
Peneltian dan disertasi diajukan untuk mengkritisi, memperkuat, membantah maupun merevisi kesimpulan mereka, dengan mengajukan kasus sendiri. Tentunya sudah ada preliminary penelitian dan bahan primer tentang kasus yang akan dibahas sehingga benar-benar bisa membuktikan sesuatu terhadap perdebatan akademik yang ada.

Selasa, 06 Januari 2009

Tafsir al-Qur'an Ahmadiyyah

Paling tidak ada dua tujuan ketika mengkaji tema ini: pertama untuk membuktikan bahwa Ahmadiyah sesat, dan kedua untuk mengkaji argumentasi Ahmadiyah dan mengapa. Kesimpulan dan tujuan yang saya baca dari tesis dan jawaban ujian kompre mahasiswa ulumul Qur'an adalah untuk menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat. Di dalam rancangan awal tesisnya ia menulis tentang al-dakhil, sesuatu yang masuk dari luar, untuk membedakan dengan al-ashil, sesuatu yang asli/murni, dalam penafsiran. Dan sudah bisa ditebak bahwa tafsiran Ahmadiyah adalah termasuk al-dakhil.
Kata-kata yang digunakan juga sudah merepresentasikan penilaian atau penghukuman ini, seperti ketika mengatakan bahwa penafsiran Ahmadiyah terhadap suatu ayat sebagai "menyimpang", sedangkan "seharusnya penafsirannya adalah ....".
Pertanyaannya, bagaimana dan apa kriterianya untuk menyatakan ini menyimpang dan yang ini yang seharusnya? kriterianya siapa?
Ini juga permasalahan saya dengan beberapa literatur yang menulis misalnya tentang al-Ittijahat al-Munharifah fi al-Tafsir Pendekatan yang Sesat dalam Penafsiran. Muhammad Husain al-Dzahabi misalnya menyebutkan bahwa tafsir sufi, syi'ah dan mu'tazilah termasuk dalam tafsir yang sesat. Tapi adakah tafsir asy'ariyah yang sesat? Kenapa tidak? Karena al-Dzahabi adalah representasi dari Asy'ariyyah, maka dia menghukumi tafsir-tafsir yang lain dengan kriteria Asy'ari. Apakah menurut kelompok Syi'ah, tafsir Syiah sesat? Tentu tidak, bahkan tafsir Sunni yang sesat menurut mereka, karena tidak sesuai dengan standar dan kriteria Syi'ah.
Banyak sarjana Muslim yang sudah menganjurkan untuk membedakan antara agama dan pemikiran agama, antara al-Qur'an dengan tafsir al-Qur'an. Yang satu absolut dan yang lain relatif karena hasil pemikiran dan ijtihad manusia. Ketika kita mengatakan bahwa penafsiran ini yang paling benar dan yang lain sesat, who are we?

Ujian Komprehensif 6 Januari 2009

Hari ini ada empat mahasiswa Ulumul Qur'an program beasiswa Departemen Agama yang mengikuti ujian lisan komprehensif. Tema-temanya menarik, ada yang menulis tentang rasm Utsmani apakah tauqifi atau ijtihadi, hermeneutika Muhammad Syahrur, tafsir al-Qur'an Ahmadiyah, dan kisah al-Qur'an menurut Muhammad Ahmad Khalafallah. Tema-tema ini berkaitan dengan tesis-tesis yang ditulis.
Sebelum mengikuti ujian komprehensif, mahasiswa diminta untuk mengajukan tiga tema berikut literaturnya yang berkaitan dengan aspek pemikiran Islam, institusi Islam, dan sejarah dan perkembangan modern dalam Islam. Tentu saja tema dan literatur yang diajukan masing-masing mahasiswa berbeda antara satu dengan yang lainnya, karena interes mereka berbeda. Proses dan ujian ini tentu saja akan membantu mereka dalam penulisan tesis/disertasi, karena mereka akan mengetahui peta keilmuan di sekitar tema yang ditulis berikut literatur-literaturnya. Yang cukup merepotkan sebetulnya adalah membuat soal yang komprehensif sesuai tema yang diajukan, untuk setiap mahasiswa. Setelah mengajukan tema-tema beserta daftar bacaannya, mahasiswa kemudian menjawab soal-soal ujian komprehensif secara tulis dan lisan.
Tentang rasm Utsmani misalnya, si mahasiswa mengajukan tema lembaga pentashih al-Qur'an dan respon sarjana Muslim terhadap pandangan orientalis di sekitar sejarah teks al-Qur'an. Diskusi dan tanya jawab yang berkembang dalam ujian lisan adalah apa kriteria yang dirujuk oleh lembaga pentashih al-Qur'an untuk memberikan label tashih pada suatu mushaf, kenapa suatu mushaf dilarang dan yang lainnya diterima. Kenapa mushaf Al-Qur'an Berwajah Puisi yang disusun H.B. Jassin dengan Sirajuddin AR sebagai penulis teks al-Qur'annya tidak mendapatkan restu? Apakah Lembaga pentashih al-Qur'an merepresentasikan sesuatu (mazhab, paradigma, tradisi, ideologi dll), sehingga produk-produknya merupakan hasil dari representasi tersebut. Bisakah lembaga tersebut dianggap sebagai suatu institusi yang netral dan obyektif?
Selanjutnya, siapa yang dimaksud dengan Orientalis, apakah pandangan orientalis sama, dan kenapa? Respon sarjana Muslim terhadap karya Orientalis selama ini lebih bernuansa teologis atau akademis.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, membuat mahasiswa untuk berusaha kembali menggali dan mengklarifikasi jawaban-jawaban yang selama ini diberikan, baik dalam ujian tulis dan lisan, dan tentu untuk kepentingan penulisan tesisnya.
Intinya, kita perlu mengetahui dan memahami apa yang ditulis dan to read between the lines.